Demam
tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever. Demam
tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.
Demam
tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram
negatip, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella
(bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu
di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati
dengan pemanasan (suhu 600C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan
khlorinisasi.
Salmonella
typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
ü Antigen
O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian
ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin.
Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap
formaldehid.
ü Antigen
H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
ü Antigen
Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi kuman
terhadap fagositosis.
Ketiga
macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula
pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.
Epidemologi dan Frekuensi
ü Orang
Demam tifoid dapat
menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan yang nyata antara insiden pada
laki-laki dan perempuan. Insiden pasien demam tifoid dengan usia 12 – 30 tahun
70 – 80 %, usia 31 – 40 tahun 10 – 20 %, usia > 40 tahun 5 – 10 %. Menurut
penelitian Simanjuntak, C.H, dkk (1989) di Paseh, Jawa Barat terdapat 77 %
penderita demam tifoid pada umur 3 – 19 tahun dan tertinggi pada umur 10 -15
tahun dengan insiden rate 687,9 per 100.000 penduduk. Insiden rate pada umur 0
– 3 tahun sebesar 263 per 100.000 penduduk.
ü Tempat
dan Waktu
Demam tifoid tersebar
di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate demam tifoid di Amerika Latin
53 per 100.000 penduduk dan di Asia Tenggara 110 per 100.000 penduduk. Di
Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun, di Jakarta Utara pada
tahun 2001, insiden rate demam tifoid 680 per 100.000 penduduk dan pada tahun
2002 meningkat menjadi 1.426 per 100.000 penduduk.
Patogeneses
Penularan demam
tifoid terjadi melalui mulut, kuman S.typhy masuk kedalam tubuh melalui
makanan/minuman yang tercemar ke dalam lambung, ke kelenjar limfoid usus kecil
kemudian masuk kedalam peredaran darah. Kuman dalam peredaran darah yang
pertama berlangsung singkat, terjadi 24-72 jam setelah kuman masuk, meskipun
belum menimbulkan gejala tetapi telah mencapai organ-organ hati, kandung
empedu, limpa, sumsum tulang dan ginjal. Pada akhir masa inkubasi 5 – 9 hari
kuman kembali masuk ke aliran darah (kedua kali) dimana terjadi pelepasan
endoktoksin menyebar ke seluruh tubuh dan menimbulkan gejala demam tifoid.
Gejala klinis
Gejala
klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan
penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa inkubasi
maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri
kepala, pusing dan tidak bersemangat.
Kemudian menyusul
gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
ü Demam
Pada
kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan
suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur
meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada
sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan
demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-angsur turun dan normal
kembali pada akhir minggu ketiga.
ü Ganguan
pada saluran pencernaan
Pada
mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden)
. Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut
kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan.
Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat
terjadi diare.
ü Gangguan
kesadaran
Umumnya
kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai
somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi (Determinan)
ü Faktor
Host
Manusia adalah sebagai
reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya penularan Salmonella
thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang
berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar bersama dengan tinja
atau urine. Dapat juga terjadi trasmisi transplasental dari seorang ibu hamil
yang berada dalam bakterimia kepada bayinya. Penelitian yang dilakukan oleh
Heru Laksono (2009) dengan desain case control , mengatakan bahwa
kebiasaan jajan di luar mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid pada
anak 3,6 kali lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan tidak jajan diluar
(OR=3,65) dan anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan
beresiko terkena penyakit demam tifoid 2,7 lebih besar dibandingkan dengan
kebiasaan mencuci tangan sebelum makan (OR=2,7).
ü Faktor
Agent
Demam tifoid disebabkan
oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang dapat menimbulkan
infeksi adalah sebanyak 105 – 109 kuman yang tertelan melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah Salmonella thypi yang
tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit demam tifoid.
ü
Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di
daerah tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai
dengan standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat
terjadinya penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan penduduk,
sumber air minum dan standart hygiene industri pengolahan makanan yang masih
rendah.
Berdasarkan hasil penelitian Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo (2000) dengan
desain case control , mengatakan bahwa higiene perorangan yang kurang,
mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid 20,8 kali lebih besar
dibandingkan dengan yang higiene perorangan yang baik (OR=20,8) dan kualitas
air minum yang tercemar berat coliform beresiko 6,4 kali lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan yang kualitas air minumnya tidak
tercemar berat coliform (OR=6,4).
Sumber
Penularan (Reservoir)
Ada
dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu :
ü Penderita
Demam Tifoid
Yang menjadi
sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan mikroorganisme
penyebab penyakit, baik ketika ia sedang menderita sakit maupun yang sedang
dalam penyembuhan. Pada masa penyembuhan penderita pada umumnya masih
mengandung bibit penyakit di dalam kandung empedu dan ginjalnya.
ü Karier
Demam Tifoid.
Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau
urin) mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid,
tanpa disertai gejala klinis. Pada penderita demam tifoid yang telah sembuh
setelah 2 – 3 bulan masih dapat ditemukan kuman Salmonella typhi di
feces atau urin. Penderita ini disebut karier pasca penyembuhan. Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier
kronis adalah kandung empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu atau kelainan
anatomi). Oleh karena itu apabila terapi medika-mentosa dengan obat anti tifoid
gagal, harus dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau memperbaiki
kelainan anatominya.
Karier dapat dibagi dalam beberapa jenis.
a) Healthy
carrier (inapparent) adalah mereka yang dalam sejarahnya tidak pernah
menampakkan menderita penyakit tersebut secara klinis akan tetapi mengandung
unsur penyebab yang dapat menular pada orang lain, seperti pada penyakit
poliomyelitis, hepatitis B dan meningococcus.
b) Incubatory
carrier (masa tunas) adalah mereka yang masih dalam masa tunas, tetapi
telah mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/ sebagai sumber penularan,
seperti pada penyakit cacar air, campak dan pada virus hepatitis.
c) Convalescent
carrier (baru sembuh klinis) adalah mereka yang baru sembuh dari penyakit
menulat tertentu, tetapi masih merupakan sumber penularan penyakit tersebut
untuk masa tertentu, yang masa penularannya kemungkinan hanya sampai tiga bulan
umpamanya kelompok salmonella, hepatitis B dan pada dipteri.
d) Chronis
carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang cukup lama seperti pada
penyakit tifus abdominalis dan pada hepatitis B.
Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :
ü
Komplikasi Intestinal
a.
Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang
tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga
penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah
ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.
b.
Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam
tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah
kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi
lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai syok
Komplikasi
Ekstraintestinal
a.
Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan
sirkulasi perifer (syok, sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
b.
Komplikasi darah : anemia hemolitik,
trombositopenia, koaguolasi intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia
hemolitik.
c.
Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan
pleuritis
d.
Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis
dan kolelitiasis
e.
Komplikasi ginjal : glomerulonefritis,
pielonefritis, dan perinefritis
f.
Komplikasi tulang : osteomielitis,
periostitis, spondilitis, dan artritis
g.
Komplikasi neuropsikiatrik : delirium,
meningismus, meningitis, polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.
Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang
dibuat dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah
ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu :
a. Vaksin
oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum
selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindikasi
pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi antibiotik . Lama
proteksi 5 tahun.
b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma.
Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine
(Heat in activated-Phenol preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 –
12 tahun 0,25 ml dan anak 1 – 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan
interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan
nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada
pemberian pertama.
c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis
Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan secara intramuscular dan booster setiap
3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan
anak umur 2 tahun.
Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah
endemik, orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid dan petugas
laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
Selain dari vaksin pencegahan yang paling sederhana yaitu
dengan Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh,
memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat
dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun, peningkatan
higiene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih
dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan
sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan
Diagnosis demam Tipoid
Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan
laboratorium. Ada 3 metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu :
ü
Diagnosis klinik
Diagnosis
klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang khas pada
demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan pada
penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena
pada penyakit dengan demam beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan
diagnosis demam tifoid.
ü Diagnosis
mikrobiologik/pembiakan kuman
Metode diagnosis
mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih dari 90% penderita
yang tidak diobati, kultur darahnya positip dalam minggu pertama. Hasil ini
menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positip
menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sum-sum tulang tetap memperlihatkan hasil
yang tinggi yaitu 90% positip. Pada minggu-minggu selanjutnya hasil kultur
darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85% dan 25% berturut-turut
positip pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam tinja masih dapat ditemukan
selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan
kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu yang lama.
ü Diagnosis
serologik
a.
Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat
dalam serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella
typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid.
Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah suspensi Salmonella typhi yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam
tifoid. Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H
yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya,
semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid.
Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan
ulang yang dilakukan selang waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer
aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam
tifoid.
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
§ Titer
O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
§ Titer
H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah
menderita infeksi
§ Titer
antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain :
-
Keadaan umum gizi penderita
Gizi
buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
-
Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit
-
Aglutinin baru dijumnpai dalam darah setelah
penderita mengalami sakit selama satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu
kelima atau keenam sakit.
-
Pengobatan dini dengan antibiotik
Pemberian
antibiotik dengan obat antimikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.
-
Penyakit-penyakit tertentu
Pada
beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi pembentukan
antibodi, misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma lanjut.
-
Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid
dapat menghambat pembentukan antibodi.
-
Vaksinasi
Pada
orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H meningkat.
Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer
aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu titer
aglutinin H pada seseorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai
diagnostik.
-
Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella
sebelumnya
Keadaan
ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer aglutininnya rendah. Di
daerah endemik demam tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang-orang yang
sehat.
b. Uji
Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
·
Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap
antigen Salmonella typhi belakangan ini mulai dipakai. Prinsip dasar uji ELISA
yang dipakai umumnya uji ELISA tidak langsung. Antibodi yang dilacak dengan uji
ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai.
·
Uji ELISA
untuk melacak Salmonella typhi
Deteksi antigen spesifik dari Salmonella typhi dalam spesimen klinik
(darah atau urine) secara teoritis dapat menegakkan diagnosis demam tifoid
secara dini dan cepat. Uji ELISA yang sering dipakai untuk melacak adanya
antigen Salmonella typhi dalam spesimen klinis, yaitu double antibody
sandwich ELISA.
Pengobatan
Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas
sebaiknya dirawat di rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas
perawatan.
Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna
untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis
berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit membaik, maka dilakukan
mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita.
Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian cairan
dan diet. Penderita harus mendapat
cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral
diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan kesadaran
serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang
optimal. Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup.
Sebaiknya rendah serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi.
Pemberian anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila
diagnosa telah dibuat. Kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan
efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka waktu pemberiannya yang lama,
serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps. Kloramfenikol tidak boleh
diberikan pada wanita hamil, terutama pada trimester III karena dapat
menyebabkan partus prematur, serta janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu
obat yang paling aman diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau
amoksilin.
Prosedur Pemeriksaan demam Tifoid metode
Widal
1. Metode : Slide
(Plate)
v Prinsip : Reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur
dengan suspense antigen Salmonella typhosa. Pemeriksaan yang positif ialah bila
terjadi reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (agglutinin). Antigen
yang digunakan pada tes widal ini berasal dari suspense salmonella yang sudah
dimatikan dan diolah dalam laboratorium.
v Tujuan : Untuk mengetahui kadar/titer zat antibodi bakteri Salmonella
typi pada penderita demam tifoid
v
Alat
dan Bahan
·
Alat
- Mikropipet
20 µl
- Mikropipet 10
µl
- Plate basic
putih
·
Bahan
- Serum
(antibodi
Salmonella typhii dari pasien).
- Reagen Tydal
O, H, HA, HB (antigen Salmonella typhii)
v Prosedur Kerja
1. memipet
serum 20 μL ditambah dengan 1 tetes (40 μL) reagen O, diletakkan pada Plate
Basic Putih yang bertanda O.
2. memipet
serum 20 μL ditambah dengan 1 tetes (40 μL) reagen H, diletakkan pada Plate
Basic Putih yang bertanda H.
3. memipet
serum 20 μL ditambah dengan 1 tetes (40 μL) reagen HA, diletakkan pada Plate
Basic Putih yang bertanda HA.
4. memipet
serum 20 μL ditambah dengan 1 tetes (40 μL) reagen HB, diletakkan pada Plate
Basic Putih yang bertanda HB.
5. Dihomogenkan
dan dilihat terjadinya aglutinasi.
6. Jika positif
terjadi aglutinasi dilanjutkan lagi dengan pengenceran 10 μL ditambah dengan 1
tetes (40 μL) reagen S. Typhii, dengan mengikuti prosedur yang diatas.
7. Dihitung
titer antibodinya.
v
Interpretasi
Hasil / Penilaian
·
(+) positif jika terjadi aglutinasi dan
nilai titernya yaitu:
- Titer
1(20 μL
ditambah dengan 1 tetes (40 μL) : 1/80
- Titer
2 (10 μL
ditambah dengan 1 tetes (40 μL) : 1/160
·
(-) negatif jika tidak terjadi
aglutinasi
2. Metode
: Tabung
v Prinsip
:
Reaksi
aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur
dengan suspense antigen
Salmonella typhosa. Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen dan antibodi (agglutinin).
v Alat
dan bahan
·
Alat
- Mikropipet
10 µl
- Mikropipet
1000 µl
- Tabung
Reaksi
·
Bahan
- Serum (antibodi Salmonella typhii dari pasien).
- Reagen Tydal H
(antigen Salmonella typhii)
v
Prosedur
kerja
1.
Siapkan 9 buah tabung dan masing-masing diberi
label
2.
Tabung 1 diisi dengan 100 µl serum dan
NaCl 0.9% sebanyak 1900 µl
3.
Tabung 2 sampai 7 diisi dengan NaCl 0.9% sebanyak 1000
µl
4.
Selanjutnya dipipet 1000 µl dari tabung 1 ketabung 2
lalu dihomogenkan
5.
Degitupun selanjutnya dari tabung 2 ke 3, tabung 3ke
4, dan seterusnya hingga tabung ke 8 sebagai tempat pembuangan
6.
Tabung 9 merupakan kontrol yang diisi dengan NaCl 0.9%
sebanyak 1000 µl ditanbah 1 tetes reagen tydal
1. Selanjutnya masing-masing
ditambahkan 1tetes reagen tydal H
2. Diinkubasi selama 2 jam dengan suhu
56 C atau 37 C selama 24 jam
v Interpretasi
Hasil
(+)
positif jika terjadi aglutinasi berupa serbuk pasir yang terhambur dengan nilai
titer
Tabung 1 : 1/20
Tabung 2 : 1/40
Tabung 3 : 1/80
Tabung 4 : 1/160
Tabung 5 : 1/320 dst.
(-) negatif jika tidak terjadi
aglutinasi atau terjadi aglutinasi dalam bentuk gumpalan.
0 komentar